PENDIDIKAN FARMASI INDONESIA
Pendidikan Farmasi Indonesia, Bangunan Kuat Cetak SDM Farmasi
Tuty Ocktaviany - Okezone
Senin, 23 November 2009 14:26 wib
Foto: Ist
PROF Dr Ibnu Gholib Gandjar DEA Apt, Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) mengatakan lebih dari 22.000 tenaga farmasi sangat dibutuhkan untuk mendukung Program Indonesia Sehat 2010. Pemenuhan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) farmasi itu sepenuhnya dibebankan kepada perguruan tinggi farmasi yang ada di Indonesia saat ini.
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program farmasi juga diharapkan perannya dalam meningkatkan mutu tenaga ahli farmasi. Aplikasinya, misalnya, perguruan tinggi farmasi bisa menyediakan lebih dari satu program studi, misalnya program studi yang masing-masing berorientasi pada pasien, obat, dan penggunaan obat tradisional yang aman.
Berbicara masalah kesiapan SDM Farmasi untuk apoteker misalnya, Ibnu mengatakan, perlu ada penguasaan kompetensi dari apoteker itu sebagai petugas pelayanan kefarmasian. "Kompetensinya pada pekerjaan pelayanan kefarmasian atau pharmaceutical care," tutur Ibnu saat ditemui di ruang kerjanya, di Fakultas Farmasi UGM (FF UGM), belum lama ini.
Pengembangan peran dan kompetensi kefarmasian di Indonesia ini, memang menuju pada sebuah konsep farmasi yang muncul pada era 1970-an, dengan nama Pharmaceutical care. Konsep ini menggambarkan bahwa semua praktisi kesehatan harus memberikan tanggung jawab atas dampak pemberian obat pada pasien.
Seorang apoteker bisa mengembangkan konsep ini dalam melakukan tugasnya. Data demografi dan epidemiologi dipergunakakan untuk mengembangkan formula atau daftar obat, memonitor kebijakan apotek, mengembangkan dan mengelola jaringan farmasi (apotek) menyiapkan serta menganalisis laporan penggunaan obat, biaya obat, peninjauan penggunaan obat dan mendidik provider tentang prosedur dan kebijaksanaan obat.
Ibnu menerangkan, pekerjaan kefarmasian pada dasarnya ada di bidang industri farmasi, distribusi farmasi, pendidikan dan penelitian farmasi. Untuk mempersiapkan SDM farmasi yang kompeten di bidang-bidang tersebut, ada kurikulum S1 farmasi dan ditambah Profesi Apoteker (2 semester). "Jadi keseluruhan pendidikan farmasi sejak jenjang S1 bisa ditempuh selama 5 tahun," ujarnya. Memang, tidak semua perguruan tinggi memiliki pengajaran untuk profesi.
Ibnu menambahkan, mereka yang hanya menempuh pendidikan sarjana farmasi (S1) bisa bekerja sebagai analis farmasi dengan kompetensi kesarjanaannya. "Tetapi, karena dia tidak mengambil program profesi apoteker, tidak bisa melakukan pekerjaan kefarmasian," jelas pakar kimia analis dari Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta ini. Dengan demikian, bisa dipetakan bahwa jenjang pendidikan untuk farmasi, sebenarnya bertujuan untuk memasukkan lulusan sarjana farmasi dalam standar kompetensi tertentu.
Namun, dalam menyiapkan SDM berkualitas tentu ditemui kendala. Menurutnya, sejauh ini kendalanya adalah tidak meratanya kualitas pendidikan farmasi di Indonesia. Saat ini, di Indonesia ada 63 institusi Perguruan Tinggi yang membuka program pendidikan farmasi S1. Di antaranya 12 terakreditasi A, 13 terakreditasi B, 17 terakreditasi C. Sisanya belum terakreditasi. "Inilah yang menjadi kendala kita," tegas Ibnu.
Namun untuk menjaga mutu dan kualitas lulusan, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), mengeluarkan aturan bahwa yang boleh mengambil program profesi apoteker adalah sarjana farmasi dari Perguruan Tinggi yang telah terakreditasi. "Kalau PT yang belum terakreditasi ya harus ngejarakreditasi dulu," kata Ibnu yang lahir di Purworejo, 9 November 1947.
Perguruan Tinggi yang berhak menyelenggarakan program pendidikan profesi adalah Perguruan Tinggi yang terakreditasi A dan B. "Itu adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti," katanya. Dasarnya, pendidikan profesi itu adalah pendidikan setelah sarjana, dan menurut aturan Dikti yang boleh menyelenggarakan pendidikan setelah lulus sarjana adalah Perguruan Tinggi yang minimal terakreditasi B.
Ibnu menilai kualitas SDM di Industri farmasi memiliki peran yang sangat penting sebagai motor penggerak sebuah bisnis farmasi. Sebab, ada aturan yang berupa SK dari Menteri Kesehatan yang mewajibkan penanggung jawab dari industri farmasi adalah apoteker; penanggung jawab produksi dan kontrol kualitas (quality control) adalah apoteker. "Untuk itu, dalam proses pendidikannya kita menyiapkan semuanya," ujarnya.
Ibnu mencontohkan, misalnya di UGM yang memiliki tiga minat/konsentrasi. Pertama, farmasi sains dan industri, kedua, farmasi klinik dan komunitas, ketiga, farmasi bahan alami (obat tradisional). "Sedangkan di beberapa Perguruan Tinggi, 3 itu bukan saja minat tapi sudah menjadi program studi," katanya. "Karena kemajuan ilmu farmasi yang sangat pesat dan sangat beragam mendorong program pendidikan sarjana dibagi dalam bentuk peminatan atau program studi. Ini agar studi yang dikembangkan lebih fokus dan mendalam," tuturnya melanjutkan.
Dalam upaya peningkatan kualitas SDM, pendidikan bidang farmasi melakukan sejumlah langkah. Termasuk diterapkannya penggunaan teknologi informasi dalam pengajaran. Tujuannya pada peningkatan kompetensi tenaga kefarmasian yang berujung pada pengetahuan dan kompetensi demi peningkatan mutu pelayanan yang berorientasi pada konsumen.
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program farmasi juga diharapkan perannya dalam meningkatkan mutu tenaga ahli farmasi. Aplikasinya, misalnya, perguruan tinggi farmasi bisa menyediakan lebih dari satu program studi, misalnya program studi yang masing-masing berorientasi pada pasien, obat, dan penggunaan obat tradisional yang aman.
Berbicara masalah kesiapan SDM Farmasi untuk apoteker misalnya, Ibnu mengatakan, perlu ada penguasaan kompetensi dari apoteker itu sebagai petugas pelayanan kefarmasian. "Kompetensinya pada pekerjaan pelayanan kefarmasian atau pharmaceutical care," tutur Ibnu saat ditemui di ruang kerjanya, di Fakultas Farmasi UGM (FF UGM), belum lama ini.
Pengembangan peran dan kompetensi kefarmasian di Indonesia ini, memang menuju pada sebuah konsep farmasi yang muncul pada era 1970-an, dengan nama Pharmaceutical care. Konsep ini menggambarkan bahwa semua praktisi kesehatan harus memberikan tanggung jawab atas dampak pemberian obat pada pasien.
Seorang apoteker bisa mengembangkan konsep ini dalam melakukan tugasnya. Data demografi dan epidemiologi dipergunakakan untuk mengembangkan formula atau daftar obat, memonitor kebijakan apotek, mengembangkan dan mengelola jaringan farmasi (apotek) menyiapkan serta menganalisis laporan penggunaan obat, biaya obat, peninjauan penggunaan obat dan mendidik provider tentang prosedur dan kebijaksanaan obat.
Ibnu menerangkan, pekerjaan kefarmasian pada dasarnya ada di bidang industri farmasi, distribusi farmasi, pendidikan dan penelitian farmasi. Untuk mempersiapkan SDM farmasi yang kompeten di bidang-bidang tersebut, ada kurikulum S1 farmasi dan ditambah Profesi Apoteker (2 semester). "Jadi keseluruhan pendidikan farmasi sejak jenjang S1 bisa ditempuh selama 5 tahun," ujarnya. Memang, tidak semua perguruan tinggi memiliki pengajaran untuk profesi.
Ibnu menambahkan, mereka yang hanya menempuh pendidikan sarjana farmasi (S1) bisa bekerja sebagai analis farmasi dengan kompetensi kesarjanaannya. "Tetapi, karena dia tidak mengambil program profesi apoteker, tidak bisa melakukan pekerjaan kefarmasian," jelas pakar kimia analis dari Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta ini. Dengan demikian, bisa dipetakan bahwa jenjang pendidikan untuk farmasi, sebenarnya bertujuan untuk memasukkan lulusan sarjana farmasi dalam standar kompetensi tertentu.
Namun, dalam menyiapkan SDM berkualitas tentu ditemui kendala. Menurutnya, sejauh ini kendalanya adalah tidak meratanya kualitas pendidikan farmasi di Indonesia. Saat ini, di Indonesia ada 63 institusi Perguruan Tinggi yang membuka program pendidikan farmasi S1. Di antaranya 12 terakreditasi A, 13 terakreditasi B, 17 terakreditasi C. Sisanya belum terakreditasi. "Inilah yang menjadi kendala kita," tegas Ibnu.
Namun untuk menjaga mutu dan kualitas lulusan, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), mengeluarkan aturan bahwa yang boleh mengambil program profesi apoteker adalah sarjana farmasi dari Perguruan Tinggi yang telah terakreditasi. "Kalau PT yang belum terakreditasi ya harus ngejarakreditasi dulu," kata Ibnu yang lahir di Purworejo, 9 November 1947.
Perguruan Tinggi yang berhak menyelenggarakan program pendidikan profesi adalah Perguruan Tinggi yang terakreditasi A dan B. "Itu adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti," katanya. Dasarnya, pendidikan profesi itu adalah pendidikan setelah sarjana, dan menurut aturan Dikti yang boleh menyelenggarakan pendidikan setelah lulus sarjana adalah Perguruan Tinggi yang minimal terakreditasi B.
Ibnu menilai kualitas SDM di Industri farmasi memiliki peran yang sangat penting sebagai motor penggerak sebuah bisnis farmasi. Sebab, ada aturan yang berupa SK dari Menteri Kesehatan yang mewajibkan penanggung jawab dari industri farmasi adalah apoteker; penanggung jawab produksi dan kontrol kualitas (quality control) adalah apoteker. "Untuk itu, dalam proses pendidikannya kita menyiapkan semuanya," ujarnya.
Ibnu mencontohkan, misalnya di UGM yang memiliki tiga minat/konsentrasi. Pertama, farmasi sains dan industri, kedua, farmasi klinik dan komunitas, ketiga, farmasi bahan alami (obat tradisional). "Sedangkan di beberapa Perguruan Tinggi, 3 itu bukan saja minat tapi sudah menjadi program studi," katanya. "Karena kemajuan ilmu farmasi yang sangat pesat dan sangat beragam mendorong program pendidikan sarjana dibagi dalam bentuk peminatan atau program studi. Ini agar studi yang dikembangkan lebih fokus dan mendalam," tuturnya melanjutkan.
Dalam upaya peningkatan kualitas SDM, pendidikan bidang farmasi melakukan sejumlah langkah. Termasuk diterapkannya penggunaan teknologi informasi dalam pengajaran. Tujuannya pada peningkatan kompetensi tenaga kefarmasian yang berujung pada pengetahuan dan kompetensi demi peningkatan mutu pelayanan yang berorientasi pada konsumen.
0 komentar:
Posting Komentar